Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala
puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk
RasulillahShallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Al-Qur'an dan sunnah
menerangkan, suami memiliki hak yang sangat besar atas istrinya. Istri harus
taat kepada suaminya, melayani dengan baik, dan mendahulukan ketaatan kepadanya
daripada kepada orang tua dan saudara-saudara kandungnya sendiri. Bahkan suami
menjadi surga dan nerakanya.
Allah Ta'ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم
"Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS.
Al-Nisa': 34)
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ
أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ
إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ
يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
"Tidak boleh
(haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali
dengan izinnya. Istri juga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya
kecuali dengan izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan
perintahnya, maka setengah pahalanya diberikan untuk suaminya." (HR.
Al-Bukhari)
Ibnu Hibban meriwayatkan
hadits dari Abu HurairahRadhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda, "Apabila wanita menunaikan shalat lima
waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya; maka
disampaikan kepadanya: masuklah surga dari pintu mana saja yang kamu mau."
(Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 660)
Ibnu Majah juga
meriwayatkan hadits yang dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Saat Mu'adz
tiba dari Syam, ia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Beliau berkata: "Apa ini wahai Mu'adz?"
Mu'adz menjawab,
"Aku telah datang ke Syam, aku temui mereka bersujud kepada para pemimpin
dan penguasa mereka. Lalu aku berniat dalam hatiku melakukan itu kepada
Anda."
Kemudian Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda: "Jangan lakukan itu, kalau saja aku
(boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada selain Allah, pastilah aku
perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di
tangan-Nya, tidaklah seorang istri disebut telah menunaikan hak Rabb-nya
sehingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk
melayaninya sementara ia berada di atas pelana unta, maka hal itu tidak boleh
menghalanginya." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Maknanya: hadits
tersebut memerintahkan kepada para istri untuk mentaati dan siap melayani
suaminya. Tidak boleh ia menolak ajakan suami walau ia sudah siap melakukan
perjalanan, yakni sudah berada di atas pelana untanya, maka hal ini lebih
ditekankan saat ia berada dalam keadaan selain itu.
Diriwayatkan dari
al-Husain bin Mihshan, bahwa bibinya pernah datang kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallamkarena satu keperluan. Saat sudah selesai, Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya, "apakah kamu punya
suami?"
Ia menjawab,
"Ya."
Beliau bertanya lagi,
"Bagaimana sikapmu terhadapnya?"
Ia menjawab, "Aku
tidak kurangi hak-nya kecuali apa yang aku tidak mampu."
Beliau bersabda,
"Perhatikan sikapmu terhadapnya, karena ia surga dan nerakamu." (HR.
Ahmad dan Al-Hakim, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al;Targhib wa al-Tarhib,
no. 1933)
Maksudnya, suamimu itu
adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan hak-nya. Dan suamimu itu
menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal itu.
. . . suamimu itu adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan
hak-nya. Dan suamimu itu menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal
itu. . .
Taat Suami VS Taat Orang
Tua
Sering terjadi kasus,
orang tua wanita –baik bapak atau ibunya- menuntut kepadanya untuk melakukan
sesuatu yang berseberangan dengan tuntutan suami. Hal ini sering menjadi dilema
dan masalah berat bagi sebagian wanita. Pada saat seperti ini, mana yang harus
lebih didahulukan oleh wanita muslimah?
Apabila ketaatakan
kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang
wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya. Imam Ahmad rahimahullah berkata
tentang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit: Ketaatan
kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali
jika suaminya mengizinkannya." (Syarh Muntaha al-Iradat: 3/47)
Di dalam kitab al-Inshaf
(8/362), "Seorang wanita tidak boleh mentaati kedua orang tuanya untuk
berpisah dengan suaminya, tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan
ketaatan kepada suaminya lebih wajib."
. . . Apabila ketaatakan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada
orang tua, maka bagi seorang wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan
ketaatan kepada suaminya. . .
Terdapat satu hadits
dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam –menurut sebagian ulama
statusnya hasan- yang meguatkan hal ini, dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha,
berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, "Siapakah wanita paling besar haknya atas wanita?"
Beliau menjawab: "Suaminya."
Aku bertanya lagi,
"Lalu siapa manusia yang paling besar haknya atas laki-laki?" Beliau
menjawab, "ibunya." (HR. al-Hakim, namun hadits ini didhaifkan oleh
Al-Albani dalam Dhaif al-Targhib wa al-Tarhib, no. 1212, beliau mengingkari
penghasanan hadits tersebut oleh al-Mundziri)
Dengan demikian maka,
bagi wanita haruslah lebih mendahulukan ketaatan kepada suami daripada ketaatan
kepada kedua orang tuanya. Namun jika keduanya bisa ditunaikan secara sempurna
dengan izin suaminya, maka itu yang lebih baik. Wallahu Ta'ala A'lam.
******************
Komentar